Sunday, August 28, 2011

deeply inside, still dream about being an architect. a lot of dream
sepertinya sebagian besar manusia dikota ini harus pergi merantau agar merasakan betapa berbuka dirumah itu adalah salah satu hal yang sangat langka dan sangat besar nikmatnya. sekarang sudah mulai mengerti bahwa berbuka bersama diluar ini hendaknya paling banyak hanya 3-4 jika kita pulang dari perantauan. mengingat Ramadhan hanya berjumlah 29 hari

Kemana Air Kotor Kita?

sebenarnya ini pelajaran yang saya dapatkan di kelas Infrastruktur Wilayah dan Kota mengenai Infrastruktur kota terutama tentang Sewer dan Waste water. Bagaimana seharusnya pengalirannya. bagaimana pengolahannya yang benar. siapa pihak yang bertanggung jawab sampai permasalahan yang dihadapi sebagian besar kota di negara ini.

sebagian besar masyarakat awam di negara ini (termasuk saya sebelum kelas inwilkot) menganggap air kota\or yang telah digunakan untuk mandi cuci kakus dan kebutuhan dapur dialirkan ke selokan / got / bandar. ternyata itu salah. seharusnya air-air sisa itu dialirkan lagi kedalam suatu pipa yang menuju suatu tempat pengolahan sehingga bisa diolah kembali menjadi air yang bisa digunakan untuk kebutuhan lain. bahkan jika memungkinkan, diolah kembali menjadi air bersih.

bagi pencinta film Hollywood pasti sangat familiar dengan ruangan2 berbentuk tabung dibawah tanah (sewer) dimana hidup manusia gelandangan dan tikus2. sewer tersebut  adalah saluran air kotor yang dimaksud. sehingga tak perlu ada selokan dilingkungan rumah yang pastinya akan menjamin kesehatan dan kebersihan. sayang, baik pemerintah maupun instansi terkait tidak tahu dan tidak mencari tahu hal ini. 

nantinya, saya akan coba menjelaskan tentang sewer sistem ini, saat kelas inwilkot ini berakhir, sehingga pemahaman saya sudah cukup baik tentang sistem air kotor dan bersih.

Saturday, August 20, 2011

Cerita Tour de Singkarak

Sudah tahun ketiga Tou De Singkarak diselenggarakan. Tiap tahunnya selalu terjadi peningkatan mulai dari kualitas trek, kualitas perlombaan dan investasi yang semakin bagus alirannya. Bahkan, mulai tahun 2012 UCI (Union Cyclist Internasional) atau asosiasi sepedabalap internasional berencana menaikan kelas Tour de Singkarak meskipun belum sepangkat Tour de France ( baca Kompas, 20 Agustus 2011 ).

Sayangnya, peningkatan itu tidak diiringi dnegan peningkatan kualitias penanggulangan efek samping dari balapan sepeda tersebut. Selama tiga kali penyelenggaraan, selalu saja masyarakat Sumatera Barat mengeluh tentang kegiatan lomba yang mengganggu aktivitas sehari-hari mereka. Jangankan kegiatan ekonomi seperti distribusi barang dan lain-lain, kegiatan sehari-hari seperti antar jemput keluarga atau anak sekolah saja bisa terganggu. tentunya hal ini tak bisa dibiarkan berlarut karena akan menambah panjang daftar kebencian masyarakat Sumatera Barat kepada Tour de Singkarak. Sebagian masyarakat yang merasa dirugikan, nantinya akan menolak diadakannya perlombaan ini ditahun-tahun berikutnya. padahal, kegiatan ini sangat positif untuk mendorong perekonomian dan pariwisata Sumatera Barat.

Hendaknya, baik Pemerintah maupun Penyelenggara merancang perlombaan ini secara sistematik dan rasional sehingga tak ada pihak yang dirugikan. Minimal, kerugian yang ditumbulkan tidak terlalu besar. Hal ini bisa dimulai dengan merencanakan trek balapan dengan baik dengan memperhatikan jalur alternatif tapi tetap memperhatikan nilai pemandangan yang akan dilalui. Yang tak kalah penting adalah adalah memberikan keuntungan secara langsung kepada masyarakat seperti mengizinkan membuka stand makanan, souvenir atau semacamnya sehingga tidak ada penolakan dan menimbulkan rasa memiliki dari masyarakat terhadap perlombaan ini. Infrastruktur juga hal yang sangat vital mengingat event ini adalah event Internasional yang diikuti pebalap dari berbagai negara. tentunya kesalahan-kesalahan teknis dan kemungkinan kecelakaan harus diminimalisir.

Tiap kegiatan, tentunya akan selalu memiliki sisi negatif. Pemerintah dan Pengelola tentunya sudah menyadari hal tersebut. Jika persiapan sudah dirancang sebaik-baiknya, maka memberikan pencerdasan ke masyarakat adalah langkah selanjutnya agar masyarakat semakin menerima dan turut mendukung keberlangsungan Tour de Singkarak. Semoga, balap sepeda ini tak hanya mendorong perekonomian dan pariwisata namun juga mampu mengajak masyarakat untuk kembali menggunakan sepeda sebagai transportasi dalam rangka menjaga lingkungan hidup. Tentunya harapan agar Tour de Singkarak bisa disejajarkan dengan Tour de France harus diusahakan bersama demi kemajuan negeri ini.




Friday, August 19, 2011

cita-cita ?

Arsitek



kalau melihat teman-teman yang sekarang memiliki nim 152, perasaan marah kepada diri sendiri ini selalu muncul. selalu. selalu. selalu.

mereka yang dulu sama2 berjuang, sama2 berangan-angan dengan saya. mereka berhasil mengalahkan kemalasan di dalam dirinya

berbeda dengan saya, sampai detik ini, saya masih belum bisa memaafkan diri saya, masih belum bisa memaafkan masa lalu saya.

Tuhan memang sangat Agung. Ia tahu benar bagaimana cara mengingatkan hambanya. Ia tahu benar cara membuat umatnya jera.

tapi kadang, kami, khususnya saya, masih sangat nakal

Cerita Malin Kundang

Benar adanya, dibalik kemahsyuran dan harumnya nama Minangkabau, sikap picik dan busuk hati tak bisa dilepaskan dari masyarakat di pesisir barat pulau sumatera ini. saya sadar bahwa sifat itu bukanlah sifat asli, namun lebih karena paksaan keadaan yang nanti akan saya bahas lebih lanjut.

Saya berani bertaruh semua manusia Minangkabau pernah mendengar cerita Malin Kundang. tapi saya juga berani bertaruh bahwa hanya segelintir manusia Minangkabau yang mendengar cerita Malin Kundang versi ini


---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



Malin Kundang tidak berasal dari Padang. Rantau entah berantah yang tampak asing dari ketinggian Luhak yang tiga. Dia lahir dan besar di pegunungan dan perbukitan dataran tinggi Minangkabau. Pada sebuah kampung yang tidak jauh dari Pariangan. Ibunya yang biasa dipanggilnya Mandeh adalah perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara. Paman yang paling tua dipanggil Makwo, sedangkan yang muda dipanggil Makdang. Di kampungnya nenek Malin bukanlah orang susah, pewaris tunggal dari berpetak-petak tanah yang dimiliki sebagai pusaka tinggi. Karena Mandeh satu-satunya perempuan di keluarga itu, maka jelas nantinya pusaka tinggi itu akan jatuh ke tangannya. Semuanya tampak sebagaimana harusnya hingga Makwo dan Makdang menikah dan tidak lama kemudian sang nenek meninggal.
Makwo dan Makdang adalah jenis lelaki Minang usang yang memandang dunia sejauh angan pendek mereka. Menikah dengan perempuan satu kampung, berharap bisa mendapatkan kehidupan tanpa merantau meninggalkan kampung. Pada awalnya mereka masih bisa menggarap tanah pusaka, membagi hasilnya dengan Mandeh. Tetapi ketika kemudian Mandeh menikah, mereka mulai terancam apalagi suami Mandeh juga menetap di kampung. Mereka jadi Mamak Rumah yang mesti pergi tanpa membawa apa-apa. Istri-istri mereka yang kelak dipanggil Malin Kundang dengan sebutan Etek, jenis perempuan Minang klasik, menguasai suami dengan cara membuka permusuhan dengan ipar perempuan. Mereka mulai menghasut Makwo dan Makdang untuk menguasai pusaka Mandeh. Mereka menebar isu kalau hasil dari harta pusaka banyak yang dibawa pergi ke rumah gadang suami Mandeh. Makwo dan Makdang mulai terhasut, tetapi langkah mereka masih tertahan, was-was jika Mandeh nantinya melahirkan anak perempuan yang akan melanjutkan pusaka tinggi itu.
Dan kemudian ternyata yang lahir adalah anak laki-laki yang diberi nama Malin Kundang. Tidak berselang lama dari kelahiran Malin, ayahnya meninggal dunia mendadak. Bisik-bisik orang kampung mengatakan dia mati karena racun tuba. Dalam bisikan yang lebih hening berembus kabar, Etek Malin menyuruh orang pintar meramu racun dan memasukkannya dalam bingkisan makanan yang mereka berikan. Mereka tidak ingin setelah Malin Kundang lahir, laki-laki itu membuahi Mandeh lagi sehingga akan lahir anak perempuan. Tinggallah Mandeh dengan seorang bayi laki-laki yang kelak juga harus pergi. Tanpa anak perempuan, pusaka tinggi berakhir pada Mandeh. Makwo dan Makdang dengan dorongan dari istri-istri mereka mulai menggerogoti pusaka itu, dan Mandeh tidak ada yang membela. Lama kelamaan pusaka yang selama ini dipegang Mandeh hilang sudah, bahkan kedua saudara laki-lakinya sampai tega mengusirnya dari rumah gadang.
Mandeh menemukan gubuk tak berpenghuni di pinggir hutan. Selama tahun-tahun berat membesarkan Malin Kundang, dia tinggal disana. Mandeh bukan tidak mau menikah lagi, tetapi hampir tidak mungkin baginya untuk mendapatkan seorang suami. Ketentuan adat mengharuskan perempuan yang meminang. Bila dia tidak punya paman atau Mamak, tanggung jawab meminang itu ada di pundak saudara laki-lakinya. Dan saudara laki-lakinya, jangankan mencarikan suami, mereka malah mengusirnya dari rumah gadang. Karena tidak lagi punya tanah yang menghasilkan, dia hidup dari mencari ranting kayu di hutan. Masyarakat di kampungnya hanya bisa membantu dengan menukar ranting kayu bakar dengan beras dan lauk pauk. Ketika Malin sudah cukup besar, anak itu mulai membantunya dengan tekun. Hingga kemudian dia berusia awal belasan tahun, Malin mulai mengerti apa yang menimpa dirinya dan Mandeh. Malin mulai berani mendatangi Makwo dan Makdang menuntut haknya. Karena jengkel tidak pernah ditemui, dilemparinya rumah mereka dengan batu dan kayu. Etek-Eteknya menebarkan gunjing, betapa Malin Kundang ini anak nakal yang kurang ajar dan mestinya tidak tinggal di kampung mereka.
Pada suatu hari, kampung itu kedatangan seorang perantau yang jarang pulang, namanya Sidi Paulah. Konon kabar Sidi bekerja di kapal dan pulang membawa kekayaannya. Membangunkan rumah gadang baru untuk saudara-saudara perempuannya dan kemudian berencana pergi lagi. Makwo dan Makdang yang semakin khawatir dengan gangguan Malin Kundang melihat peluang untuk membuang kemenakan mereka itu. Diam-diam mereka mendatangi Sidi Paulah, dengan memberi kesan sebagai paman yang bertanggung jawab, mereka ingin Sidi membawa pergi Malin biar nanti bisa pulang membebaskan Mandeh dari kemiskinan. Sementara istri-istri mereka sibuk menghasut orang kampung agar mengusir Malin Kundang dari kampung mereka. Demi melihat kesungguhan dua orang itu dan ditambah lagi dengan tuntutan dari orang kampung yang sudah termakan hasutan, Sidi menyanggupi untuk membawa Malin Kundang keluar dari kampung itu.
Malin Kundang kaget ketika Sidi Paulah mengajaknya pergi, sementara dia berharap tumbuh besar di kampung dan membereskan urusan dengan kedua pamannya. Tetapi karena orang kampung juga sudah termakan hasutan, dia juga tidak punya tempat di kampung ini. Malin Kundang menerima tawaran Sidi Paulah, kesedihan Mandeh tidak sanggup menahan anaknya pergi. Dia tinggal sebatang kara, tetapi Malin Kundang bersumpah pada Mandeh bahwa kelak dia akan datang dan akan mengambil kembali semua yang menjadi hak mereka. Makwo dan Makdang serta istri-istri mereka menarik nafas lega, Mandeh seorang diri tidak akan sanggup mengganggu mereka.
Sidi mengajak Malin menuruni lembah mengikuti aliran Batang Anai hingga mereka tiba di daerah landai berbatas laut disebut Padang. Mereka tinggal menumpang di gubuk kecil milik seorang nelayan di pinggir laut. Berhari-hari mereka tinggal disitu, namun kapal yang kata Sidi akan menjemput mereka tidak juga kunjung datang. Hingga pada suatu pagi Malin terjaga, dia mendapati Sidi tidak ada lagi. Laki-laki itu telah pergi meninggalkannya begitu saja. Di rantau tanpa handai taulan, Malin Kundang mesti bertahan hidup sendiri. Dia tidak ingin kembali pulang sebagai seorang pecundang. Dia belajar melaut dengan para nelayan. Dia melihat kapal-kapal besar datang dan pergi. Dia mulai akrab dengan laut, angin dan bintang-bintang yang jadi pemandu di malam hari. Setiap kali kapal besar datang, timbul keinginannya untuk pergi berlayar jauh menjelajahi samudera tak bertepi. Setiap kapal besar berlabuh didatanginya, tanpa diminta dia bantu mengangkat bawaan kapal, berharap mendapat simpati dan ikut dibawa pergi. Tetapi hari berganti bulan tidak satu kapal pun menerimanya.
Hingga suatu hari sebuah kapal besar milik orang Bugis berlabuh. Pemilik kapal bernama Daeng Laut dan usaha pelayarannya tengah menanjak. Segera saja dia tertarik kepada anak muda belasan tahun yang begitu rajinnya di pelabuhan. Keberuntungan menaungi Malin Kundang, dia diajak pergi berlayar. Ketekunannya ditambah dengan kemauan yang keras membuat dia tidak saja bisa bertahan di atas kapal Bugis itu tetapi menjadi salah satu awak kapal yang paling terampil. Berhitung bulan di laut, segera saja posisinya naik dari sekadar pesuruh menjadi kelasi. Hingga berhitung tahun kemudian karena keterampilannya membaca alam, Daeng Laut mempercayakan nakhoda kapal kepadanya. Anak muda ini telah membawa keberuntungan kepadanya. Nyaris tidak ada pelabuhan yang mereka singgahi yang tidak memberikan keuntungan berlipat ganda. Tetapi tidak selamanya bintang keberuntungan menaungi pelayaran, kadang langit gelap menghancurkannya dalam sekejap.
Malam itu badai menggila tidak jauh dari selat Malaka. Malin Kundang berusaha keras menahan kapal agar tetap melaju menuju pelabuhan Malaka yang dituju. Tetapi alam terlalu kuat, hingga menyeret kapal jauh ke utara. Tanpa disadari kapal mendekati kawasan laut yang paling ditakuti oleh para pelaut manapun, kawasan Jemaja dimana bajak laut bersarang. Begitu pagi datang, badai menghilang dan kapal terombang-ambing di laut tak bertuan. Perlu menunggu malam untuk menentukan arah tujuan. Malin Kundang jatuh tertidur, dia terlalu lelah sepanjang malam bertarung dengan alam. Jelang siang, suara ribut di geladak kapal membangunkannya. Terdengar dentingan besi saling beradu diikuti rintihan dan teriakan. Dia segera berlari naik ke atas geladak, didapatinya bajak laut menyerbu kapal. Belasan awak kapal tewas termasuk Daeng Laut. Malin Kundang mengambil benda apa saja untuk melawan bajak laut yang mulai menyerbunya. Dia terdesak, tetapi sebelum parang bajak laut mengakhiri hidupnya, Malin Kundang sempat melihat pemimpin gerombolan lanun ini. Dia tidak percaya dengan penglihatannya, teriakannya menghentikan semua kegaduhan itu. Sidi Paulah, teriaknya. Dan laki-laki itu segera menengok kaget. Walaupun bertahun tidak saling bertemu, mereka masih saling mengenali.
Sidi Paulah ternyata pemimpin lanun di Jemaja. Inilah pekerjaan haram yang membuatnya kaya raya. Pekerjaan yang dulu membuatnya ragu mengajak Malin hingga meninggalkan anak muda itu begitu saja di pantai Padang. Dia pernah bersumpah, akan berhenti dari pekerjaan lanun bila di tengah lautan menemukan orang dari kampung halamannya. Dan sekarang dia bertemu dengan Malin Kundang diatas kapal yang tengah dirompaknya. Sidi Paulah memenuhi janjinya, urung merompak dan hendak berlalu pergi. Tetapi Malin Kundang menahannya. Karena awak kapal banyak yang tewas dia meminta para perompak itu tinggal dan menjadi awak kapalnya. Sidi Paulah menerima tawaran itu. Segera saja Malin Kundang menjadi penguasa kapal menggantikan Daeng Laut.
Dengan separuh awak kapalnya bekas perompak, kapal Malin Kundang semakin berani berlayar ke tempat-tempat yang tidak terjamah kapal lain. Kekayaan dan kemasyhurannya terdengar kemana-mana. Ketika kapalnya berlabuh di Malaka, raja Malaka malah mengirim pesuruh untuk menjemput Malin Kundang yang akan menjadi tamu istimewanya. Sebagaimana banyak cerita tempo dulu, karena kepentingan ekonomi, raja menikahkan putrinya dengan Malin Kundang serta menghadiahkan tanah yang sangat luas jauh di utara Malaka untuknya. Tetapi Malin Kundang masih gundah teringat janjinya pada Mandeh. Dia mengutarakan niatnya hendak kembali kepada Sidi Paulah, dia ingin menjemput Mandeh, membawanya pergi nanti jauh di utara Malaka. Dimana Mandeh tidak perlu lagi pusing memikirkan tanah-tanah mereka yang telah dirampas oleh pamannya. Akhirnya keputusan diambil, sebelum mendiami tanah di utara Malaka, Malin Kundang harus menjemput ibunya.
Kabar kemasyhuran Malin Kundang sampai di kampung halamannya.Mandeh yang sudah renta yakin anaknya itu akan datang memenuhi janji. Sementara Makwo dan Makdang yang tidak kalah renta mulai ketakutan, bila Malin Kundang dan pengikutnya datang tentu dia akan balas dendam. Dalam usia tua itu mereka masih sempat berpikir jahat, berpikir bagaimana caranya membuang Mandeh jauh sehingga Malin akan mencarinya di tempat lain dan tidak sempat mendatangi kampung. Lewat anak-anak mereka yang tidak kalah jahatnya, mereka bermufakat membawa Mandeh ke Padang berharap itu bisa menahan langkah Malin ke pedalaman jika dia datang nantinya. Dengan penuh muslihat mereka menebar kabar kalau Malin Kundang telah tiba di pantai Padang dan tengah menunggu kedatangan ibunya disana. Mandeh terpengaruh oleh kabar itu, dengan segala cara dia berhasil tiba di Padang. Berhitung hari, pekan dan bulan dia menunggu, tiada yang datang. Dia terlunta, hidup dari santunan hingga akhirnya tidak seorang pun yang percaya bahwa dia ibunya Malin Kundang.
Penantian Mandeh akhirnya mendapatkan jawaban ketika sebuah kapal besar berlabuh. Malin Kundang turun dari kapal, menghirup udara daratan yang telah bertahun-tahun ditinggalkannya. Ratusan orang menyambutnya, karena ingin sekali melihat sosok pelaut dan pedagang yang masyhur itu. Kuda-kuda diturunkan dari atas kapal, Malin Kundang ingin segera pergi meninggalkan pantai menjemput ibunya nun di pegunungan sana. Tetapi sebelum dia melangkah pergi, seorang perempuan tua menyeruak dari kerumanan orang. “Ini Mandeh, Nak” teriak perempuan itu. Tetapi kerumunan orang ramai segera menyorakinya, meneriaki Mandeh penipu, pengemis yang ingin mencari keuntungan sendiri. Malin Kundang turun dari kudanya. Tanpa mengindahkan teriakan orang-orang dia mendekati perempuan tua itu. Tidak salah lagi, itulah Mandeh, ibunya. Malin Kundang berteriak gembira, orang-orang yang iri tetap tidak bisa menerima kenyataan bahwa perempuan renta yang jorok itu ibu dari seorang pelaut yang masyhur. Mereka meneriaki Malin Kundang sebagai orang bodoh yang mudah ditipu.
Tiba-tiba Sidi Paulah dengan tergopoh-gopoh mendekati Malin Kundang. Laut surut, pertanda buruk ucapnya. Mereka telah mengarungi setiap celah lautan dan tahu persis apa yang terjadi bila laut tiba-tiba surut. Sidi Paulah bertanya pada orang-orang, adakah bumi berguncang beberapa saat yang lalu. Kerumunan orang-orang mengiyakan, itu sebabnya semua orang keluar rumah dan berlarian ke pantai bersamaan dengan kedatangan kapal mereka. “Carilah tempat tinggi, tidak lama lagi laut akan menelan daratan”, perintah Malin Kundang pada orang-orang itu. Hanya sedikit yang mau mendengarkan, itu pun pergi penuh cibiran sebagaimana sifat khas orang Minang yang susah menerima kebenaran dari orang lain. Sebagian besar lainnya terus berada di pantai menyoraki Malin Kundang yang tampak bodoh di mata mereka.
Sementara Malin Kundang meyakinkan Mandeh untuk segera naik ke atas kapal. Tetapi ibunya menolak karena ingin anaknya terlebih dahulu pulang menyelesaikan urusan dengan paman-pamannya. Malin Kundang terus berusaha meyakinkan tetapi ibunya tetap menolak dan berteriak-teriak sambil menangis. Sidi Paulah mulai gelisah, bila sedikit saja terlambat bergerak, kapal mereka yang sudah semakin ke tengah akan ikut dihempas ke daratan. Malin Kundang tidak punya waktu lagi berdebat, segera dia pangku Mandeh yang terus meronta membawanya lari ke atas kapal. Dari kejauhan orang mendengar Mandeh menyebut Malin Kundang anak durhaka karena tidak memenuhi pinta ibunya yang ingin anaknya pulang kampung dan membalaskan dendamnya kepada saudara laki-lakinya.
Gelombang besar itu akhirnya datang sebagai penuntas dari gempa yang terjadi beberapa saat sebelumnya. Dari atas ketinggian orang-orang yang selamat masih sempat melihat kapal Malin Kundang terayun tinggi di atas gelombang. Di geladaknya mereka melihat, Malin Kundang sujud di kaki ibunya. Setelah itu kapal itu hilang ditelan lautan. Orang-orang yang tidak mengikuti kata-kata Malin Kundang hilang ditelan gelombang, Padang hilang pada hari itu oleh bah yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Lalu ketika laut surut, mereka yang selamat melihat gundukan batu mirip manusia mirip penampakan terakhir Malin Kundang di atas kapal. Segera mereka namakan batu Malin Kundang. Ketika kabar ini tiba di dataran tinggi, Makwo dan Makdang menggubahnya menjadi cerita Malin Kundang anak durhaka dengan menghilangkan nama mereka dari keseluruhan cerita. Dan kisah gelombang besar setelah gempa pun tidak dimasukkan dalam cerita Malin Kundang ala mereka itu.
Cerita penuntasnya, jelas tidak akan disukai oleh orang-orang Minang picik yang senantiasa senang melihat tragedi hidup orang lain. Kapal Malin Kundang selamat dari gelombang, berlayar kembali hingga ke Malaka. Dari sana Malin Kundang, istrinya, Sidi Paulah dan Mandeh bergerak ke utara. Membuka hutan menjadikannya perkampungan yang diberi nama Negeri Sembilan sebab ada sembilan orang Minang yang selamat hingga disana. Dari situlah asal muasal negeri Minangkabau di semenanjung Malaysia. Hingga saat ini, Negeri Sembilan masih melanjutkan tradisi Minangkabau. Dan hingga sekarang, atas nama kedengkian karena keberhasilan Malin Kundang, orang-orang melupakan cerita gempa dan gelombang besar yang pernah menelan pantai barat Sumatera.

Thursday, August 18, 2011

aku sudah coba

sudah kita jalani bersama

tapi aku tak bisa

hati ini tak terima

aku masih lebih mencintainya

let me be what i used to be

Wednesday, August 17, 2011

Mari kita merdeka kan mereka



dari orang orang seperti mereka



teringat lagu semasa sd dahulu :


tempat berlindung dai hari tua
tempat akhir menutup mata

Merdeka

 Hari ini, 17 Agustus 2011, adalah hari peringatan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke 66 tahun. Hari ini, 66 tahun yang lalu, Sukarno, Hatta dan tokoh kemerdekaan lainnya, sedang membahas tentang kemerdekaan Indonesia sebelum memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di jalan Proklamasi Jakarta Pusat.

Dunia maya penuh dengan semangat yang tiada batas untuk merayakan Kemerdekaan ini. tiap pribadi orang menuliskan pendapat dan pandangannya tentang makna kemerdekaan negeri ini. ada yang optimis, ada yang pesimis. tentu elit politik tak ketinggalan menggunakan momentum ini sebagai ajang pencitraan bagi diri mereka. Para artis-artis bodoh berbicara panjang lebar, seolah mengerti apa yang dimaksud dengan kemerdekaan (mungkin kemerdekaan untuk berpakaian dan kawin-cerai) entahlah. masing masing orang punya pikiran masing-masing. dan itu hak mereka. mereka merdeka-merdeka saja untuk mempunyai fikiran seperti itu.

Tapi, wajarkah jika 200 juta kepala manusia di negeri ini mengartikan bahwa kemerdekaan itu adalah panjat pinang? pantaskah perjuangan 350 tahun pejuang yang gugur di medan perang kemerdekaan dirayakan dengan berkotor-kotoran dengan menaiki pinang berlumur oli. tak ada yang salah dengan permainan itu. saya pun memainkannya. yang salah adalah, pengartiaan kemerdekaan negera ini dengan panjat pinang dan hadiah yang bergantungan. hal tersebut jelas-jelas menunjukan sikap bangsa ini, Serakah dan Konsumtif. bahkan sebuah search engine kelas dunia mengartikan kemerdekaan negara ini dengan gambar Panjat pinang. sadarkah anda itu adalah sebuah penghinaan bagi negara ini?

Bagaimana anda bisa memasukan paham kemerdekaan, bagaimana bisa anda semua berteriak-teriak tentang kemerdekaan, bagaimana bisa anda berdefinisi ini dan itu tentang kemerdekaan sementara sebagian besar masyarakat bangsa ini menganggap kemerdekaan itu adalah hari dimana kita berlibur, menonton film-film yang ditanyangkan stasiun tv, dan absen saat upacara bendera agar bisa mengikuti lomba panjat pinang untuk mendapatkan amplop berisi uang yang digantung diatas pinang.

sungguh amat lucu. perayaan hari kemerdekaan negara (yang katanya) besar ini hanya dirayakan dengan bersenang-senang tanpa jelas arah dan tujuannya. dan yang paling menyedihkan adalah, merayakan kemerdekaan negara ini dengan berlomba dengan menginjak orang lain demi materi, demi sebuah benda. wajar saja korupsi tak pernah berhenti, karena materi tetap menjadi kebutuhan primer bangsa ini, bahkan sampai melupakan nurani (baca : menginjak orang lain)

Tunggu lah kami, yang muda dan berbahaya, merubah kebiasaan sampah di negeri ini.
Merdeka, Indonesia.

Friday, August 12, 2011

Jika pondasi saja sudah goyah, lantas keteguhan macam apa yang kamu harapkan?

Wednesday, August 10, 2011

you have no idea how does it feel

for me, it is okay to feel this way

it is okay to cry when you realize there is no chance for you to get your dream

when you realize that you have to change your dream, change your only dream

it is okay to cry so you'll never do the same mistake

persetan untuk anda semua, anda anda yang merasa biasa saat cita-cita anda gagal diperjuangkan

bagi saya, anda tidak benar-benar mencintai cita-cita anda.


malam ini, pukul satu, kembali ia datang.

selamat datang, engkau yang akan terus menemaniku.

tetaplah disini, agar aku senantiasa merasa seperti ini.

beri aku satu kesempatan lagi, Tuhan.

Sunday, August 7, 2011

13 July 2011. Copenhagen is doubling the space for bikes on a number of its suburban trains to meet growth stimulated by the switch to free bike travel.
The photo at right is sure to strike pangs of envy in Melbourne commuters who have to shoe-horn bikes into tiny spaces.
The Copenhagen S-train has also introduced one-way traffic in the new bike compartments to make it easier and faster to get on and off.
Ten S-Trains are being remodelled with the new compartments, which are in the middle of the train so that there is more space for bikes on the platform.
The train system in the Danish capital is being gradually improved for travellers with bikes as increasing numbers of passengers are combining bike and train for their commute.
The railway is installing bicycle pumps at a number of stations, making bicycle ramps, more and building more bicycle parking.
The remodelled trains have pronounced coloured stripes on the sides of the train indicating the bike compartments. Bikes must be stored only in the bike area, while prams can taken in the passageways.

Research indicates that a third of all passengers have taken advantage of taking their bike on the S-train for free, and 91% are very positive about the idea, whether or not they take their bike on the S-train. Some 27% of the riders said they would not have taken the S-train unless if they had to pay extra for the bike.

source : here

The Goals of Sustainable Urbanization

Environmentally sustainable urbanization requires that:
•      greenhouse gas emissions are reduced and serious climate change mitigation and adaptation actions are implemented;
•      urban sprawl is minimized and more compact towns and cities served by public transport are developed;
•      non-renewable resources are sensibly used and conserved;
•      renewable resources are not depleted;
•      the energy used and the waste produced per unit of output or consumption is reduced;
•      the waste produced is recycled or disposed of in ways that do not damage the wider environment; and
•      the ecological footprint of towns and cities is reduced.
Only by dealing with urbanization within regional, national and even international planning and policy frameworks can these requirements be met. 
Priorities and actions for economic sustainability of towns and cities should focus on local economic development, which entails developing the basic conditions needed for the efficient operation of economic enterprises, both large and small, formal and informal. These include:
•      reliable in infrastructure and services, including water supply, waste management, transport, communications and energy supply;
•      access to land or premises in appropriate locations with secure tenure;
•      financial institutions and markets capable of mobilizing investment and credit;
•      a healthy educated workforce with appropriate skills;
•      a legal system which ensures competition, accountability and property rights;
•      appropriate regulatory frameworks, which define and enforce non-discriminatory locally appropriate minimum standards for the provision of safe and healthy workplaces and the treatment and handling of wastes and emissions.
For several reasons, special attention needs to be given to supporting the urban informal sector, which is vital for a sustainable urban economy.
The social aspects of urbanization and economic development must be addressed as part of the sustainable urbanization agenda. The Habitat  Agenda incorporates relevant principles, including the promotion of:
•      equal access to and fair and equitable provision of services;
•      social integration by prohibiting discrimination and offering opportunities and physical space to encourage positive interaction;
•      gender and disability sensitive planning and management; and
•      the prevention, reduction and elimination of violence and crime.
Social justice recognizes the need for a rights-based approach, which demands equal access to ‘equal quality’ urban services, with the needs and rights of vulnerable groups appropriately addressed.
Source: Partly adapted from UN-Habitat and Department for International Development (DFID), 2002, Chapter 4, pp18–27.


source : here
Everybody is a genius. But, if you judge a fish by its ability to climb a tree, it’ll spend its whole life believing that it is stupid.” – Albert Einstein

mungkin anda sering melihat betapa bodohnya, betapa mudahnya orang-orang mengatakan sesuatu. mungkin anda sangat geregetan beberapa komentar anggota dewan dan kawan-kawannya. disitulah tingkat intelegensia kita sebagai manusia diuji. 

dari kutipan diatas, anda dapat dipastikan akan mengangguk-kan kepala anda tanda setuju. tapi anda masih saja menanggapi betapa ugal-ugal-an nya para supir angkot. betapa melelahkannya melihat anak-anak alay. atau betapa pendeknya pikiran sebagian anggota dewan. sadarilah. mereka bukan orang-orang intelek. jika selama ini anda sering melihat bahwa pendapat mereka-mereka itu dengan mudah diterima masyarakat luas sementara pendapat anda, yang menurut anda baik dan sesuai logika, tidak diterima, itu semua karena suara mereka lebih mayoritas dibanding suara kebenaran. 

gampangnya, anda yang masih waras adalah orang gila jika berkumpul di tengah-tengah orang gila. jadi untuk apa anda susah-susah mengubah pola pikir mereka? untuk apa anda susah2 mnyuapi kapasitas otak mereka yang kerdil? 

adalah benar bahwa kebenaran tidak datang dari langit, kebenaran harus diperjuangkan agar menjadi benar. tapi mengapa anda harus memulai dai orang-orang seperti itu? mengapa anda tidak memulai dengan orang-orang yang derajat pemikirannya sepantaran dengan anda? mengapa anda tidak memulai dengan lingkungan yang lebih terbuka? mengapa anda tidak memulai dengan orang-orang yang tidak terdesak oleh kebutuhan perut, dengan orang-orang yang masih bisa makan sempat sehat lima sempurna? mengapa harus dengan mereka , harus anda maklumi, hanya memikirkan uang uang dan uang? 

jawabannya sederhana, pertama anda tidak memiliki kemampuan untuk menerima kritikan di kalangan intelek, tidak memiliki tutur bahasa yang baik untuk diterima di kalangan intelek, anda tidak berlapang dada menerima bahwa diatas langit masih ada langit. atau yang kedua, anda hanya bermulut besar. memprotes lewat sosial media, menghujati pemerintah, menghujati korupttor (disosial media, atau di demonstrasi bayaran) tapi anda sendiri titip absen, menggelapkan dana organisasi anda, atau hanya anda ingin sekedar nampang ditelevisi saat acara-acara debat kusir di persembahkan untuk anda.

Friday, August 5, 2011

mom and sister

Thursday, August 4, 2011

Agak alergi dengan orang yang menyebarkan kepesimis-an dan skeptis. ya, saya memang skeptis. tapi tidak menyebarkannya.
Halo 2011, silahkan lihat kemahsyuran UKM ITB di OHU-ITB
6 Agustus 2011

jangan lupa kunjungi Stand UKM-ITB untuk info yang menarik.

Tuesday, August 2, 2011

Konsep tentang keseimbangan itu layaknya memang benar. dimana ada hitam, disitu ada putih. dimana ada senang, susah pasti ada. begitu juga keseimbangan antara penguasa dan yang dikuasai. pun keseimbangan antara yang mewakili dan diwakili. dan tentu saja keseimbangan antara mereka yang teriak korupsi dengan koruptor. Hipokrit.

Hal ini terpikir oleh saya setelah membaca ini.

apakah korupsi ini sudah di generalisir? atau justru semakin dipersempit ruang kajiannya? setiap hari kita mendengar satu sampai tiga orang korupsi uang milayaran rupiah di media. pastinya ada orang yang korupsi mengambil gorengan, korupsi membayar makanan, korupsi  lahan, seperti yang dikatakan dalam artikel tadi. siapakah yang sekarang korupsi? ehm, rasanya kurang tepat. siapakah yang sekarang tidak korupsi?

"ah mereka kan korupsinya Milyaran, kita cuma limaratus perak"

baiklah. berarti abaikan pepatah sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit


atau silahkan naik ke atas tempat tidur anda,lalu cobalah untuk tidur ketika nyamuk berkeliling bebas di atas telinga anda.