Thursday, November 10, 2011

Malu

Mungkin kampus ini cuma bisa menyelesaikan masalah masalah bangsa yang besar. Cuma bisa menemukan sesuatu demi kemajuan umat banyak. Tapi kampus ini belum bisa menjawab kepelikan rakyat kecil. Belum bisa menjabat tangan rakyat kecil yang bertanya akan hak mereka. Bahkan untuk mempersilahkan ibu-ibu tua untuk duduk santai dirumahnya dipagi hari kampus ini belum bisa melakukanya. Masih ada ibu-ibu yang untu berjalan saja sudah susah berjualan nasi di pagi yang dingin. Atau seorang kakek berjualan tahu dan pisang goreng hingga dini hari. Terdengar klise memang. Tapi sungguh memalukan hal seperti itu masih ditemukan dilingkungan kampus yang “katanya” solusi bagi bangsa ini. Atau memang manusia disini di-didik untuk tidak peduli dengan hal seperti itu. Entahlah. Tapi timbul malu mengenakan almamater ini

Sunday, November 6, 2011

Pakem

jika berbicara dalam konteks tata ruang kota. atau tata ruang suatu wilayah maka sejauh ini saya menyimpulkan tak ada pola atau pakem tertentu yang bisa diapplikasikan secara sama terhadap banyak kota/wilayah.

ambil contoh cara memecahkan permasalahan macet. macet di jakarta dan macet di kota Padang. akan sangat berbeda penyelesaiannya. menurut literatur yang saya baca dan pengumpulan data secara primer, macet di kota Padang di sebabkan oleh ketidakteraturan pengendara bermotor. terlebih supi angkutan umum yang sebagian besar tak mengindahkan peraturan. berhanti seenaknya. pindah jalur tanpa sein. dan lain hal yang berhubungan dengan behaviour. sedangkan di Jakarta. macet disebabkan oleh ketidakmampuan luas jalan menampung luas volume kendaraan yang ada. singkatnya tak adalagi ruang kosong dijalanan jakarta untuk menyisakan jarak antar kendaraan. sehingga kesan padat dan macet lah yang terlihat. hal tersebut memicu permasalahan lain seperti ketidaksabaran. emosi pengendara, dan lain-lain.

tak ada pakem tertentu yang bisa menyelesaikan masalah kemacetan, masalah ekonomi, atau masalah sosial. memang ada beberapa aliran2 secara garis besar. misalnya dalam kajian ekonomi, akan sering terlihat pakem kapitalis, pakem sosialis atau liberal atau apapun itu. tapi itu hanya menjelaskan kulitnya. akan sangat berbeda praktik sehari-harinya. begitu pula dengan pemecahan masalah. baik masalah pribadi, keuangan pribadi atau masalah asmara. percuma jika membaca buku petunjuk asmara. atau petunjuk lewat sms. karena sekali lagi, tak ada pakem.

jadi, di jurusan ini, saya bukan belajar langgam seperti di arsitektur. bukan belajar kondisi ideal bukan pula belajar tentang bagaimana seharusnya. tapi belajar untuk belajar menyesuaikan diri lalu membuat adaptasi yang cocok. bukan mencocokan lingkungan dengan diri. di planologi, saya belajar untuk menjadi air. yang berbentuk seperti wadah tempat ia bernaung tanpa kehilangan sifat alaminya

Sabuga


Sabuga (Sasan Budaya Ganesha) adalah salah satu fasilitas yang didirikan oleh Institut Teknologi Bandung pada saat kepemimpinan Prof. Ir. Wiranto Arismunandar, MSME sebagai rektor ITB. Sabuga di bangun diatas sebuah lahan yang populer disebut kawasan Lebak Siliwangi. ITB telah diberikan kepercayaan untuk mengelola sebagian besar lahan dari kawasan yang kini sedang dalam kontroversi tersebut.

Arsitek yang merancang sabuga adalah seorang dosen ITB sendiri yaitu bapak Slamet Wirasonjaya, seorang Arsitek yang fokus pada Landscape arsitektur. Sabuga sendiri didirikan tahun 1997. Pendirian sabuga sendiri bukan tanpa kontroversi. bahkan sampai sekarang masih terdengar suara-suara kecil yang tidak menginginkan keberadaan sabuga. karena sabuga juga memicu kelompok lain untuk menggunakan sisa lahan babakan siliwangi untuk komersial. sabuga juga yang memulai anggapan bahwa babakan siliwangi adalah zona ekslusif bagi ITB. oleh karena itu, mulai sejak tahun 2000an sabuga tak lagi dikelola oleh ITB seutuhnya.

pengelolaan sabuga yang tak lagi dipegan penuh oleh itb justru memperburuk citra sabuga. karena sabuga yang pada awalnya dirancang untuk dipergunakan oleh mahasiswa ITB sendiri sekarang sudah dikomersialisasikan. mahasiswa harus membayar banyak agar bisa menggunakannya. harganya sekitar 25 juta untuk sepertiga auditorium sabuga. 

sabuga yang sekarang tak lebih dari sebuah convention hall layaknya JCC. sehingga masyarakat sekitar mulai resah. karena tak jarang acara yang meminjam sabuga sering memicu masalah mulai dari masalah keamanan, kemacetan hingga masalah kebersihan. pihak pengelola sabuga pun tidak menyeleksi acara yang akan diadakan di sabuga. mulai dari konser yang berisik sampai pada rapat politik yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kemahasiswaan. 

sabuga sendiri sebenarnya bukan hanya sebuah audiotorium untuk sidang penerimaan mahasiswa baru ataupun wisuda mahasiswa ITB dan beberapa universitas lain. hanya saja, mindset seperti ini hampir tidak bisa dipisahkan dari sebagian besar masyarakat bahkan mahasiswa itb sekalipun. mahasiswa itb hanya mengenal sabuga sebagai tempat wisuda, penerimaan mahasiwa dan venue yang mahal untuk mengadakan acara. tak banyak yang tau bahwa sabuga memiliki perpustakaan buku langka, pusat riset, auditorium visual, dan banyak fasilitas lain seperti ruang IPTEK dan galeri. hanya saja hal ini terbentur dengan kurangnya sosialisasi dan tenggelam dalam image sabuga sebagai tempat ekslusif yang tidak bisa di gunakan dengan mudah oleh mahasiswa ITB.