Friday, March 16, 2012

Balada Tukang Sate


aku terpaksa menahan dengan kaki ku yang beralaskan sendal jepit putih hijau ini. sudah habis tapak sendal ku ini. seperti diseret-seret. bukannya aku tak mengerti bahwa harga sendal 7 ribu rupiah itu mahal bagi seseorang dengan penghasilan yang sangat kecil, tapi sendal ku yang kali ini berwarna hijau terpaksa ku gesekkan ke lorong-lorong gang sempit. supaya kuat badanku bertumpu, supaya tak berlari gerobak sate milik Haji Amran ini. supaya tak terserak kuah kacang di dalam logam almunium itu. 

aku sudah khatam dengan keadaan lorong-lorong kawasan ini. meskipun baru 3 tahun, aku sudah paham benar. bagian mana yang bisa kutinggalkan gerobak ku tanpa penyangga. bagian mana yang berat dan sulit bagiku untuk mendorong gerobak. dan bagian mana yang tak bisa kulewati karena lorongnya berupa tangga, sehingga gerobak ku tak bisa berjalan. aku hafal sekali akan hal-hal tersebut. tapi aku tak hafal orang-orang yang akan menggunakan jalan. aku tak bisa perkirakan suara mesin motor yang menderuderu itu kearah mana. menjauh kah? mendekat kah? atau aka bertabrakan pertigaan lorong seperti malam kemarin? aku terkadang tak mengerti, mengapa mereka yang menggunakan sepeda motor itu tak mau menunggu ku lewat? tak sampai satu menit tentu mereka akan  bisa lewat lagi. tak banyak waktu mereka yang aku minta untuk mengizinkan aku lewat. tak selama malam yang harus aku lewati kala hujan lebat dan orang-orang tak mendengar teriakanku menjajakan dagangan ku. tak selama aku harus menunggu orang-orang yang sudah kubuatkan sate pesanan mereka tapi tak kunjung keluar membayarkan hak ku. tak pernah selama itu. aku hanya meminta waktu sedikit. supaya aku bisa lewat dengan mulus dan tak perlu aku menahan gerobak ku secara mendadak, dan tak perlu pula kuah kacang sate milik haji Amran ini berserakan.

aku paham benar gerobak sate milik haji Amran ini kecil tapi aku tak pernah seenak hatiku menggelarnya. ketika ada yang mau membeli, entah mahasiswa atau siapapun itu, pasti aku akan mencari tempat yang sedikit lowong. sehingga tak terganggu motor yang hilir mudik di lorong-lorong ini oleh gerobak pinjaman ku. tapi aku tak paham. mengapa mereka yang mempunyai motor besar dan bagus-bagus warnanya itu tak memikirikan aku. tak mengingat bahwa aku juga akan lewat lorong yang sama dengan mereka. seharusnya, jika aku menggunakan logika seseorang yang tidak lulus SMP, mungkin motor besar itu bisa diparkirkan agak keujung lorong. memang agak jauh dari warung mang Jaja. tapi setidaknya gerobak ku bisa lewat. tak perlu aku menahan dengan susah payah karena lorong didepan warung mang Jaja ini sedikit menanjak. sungguh tak mengertikah mereka menangis sendal jepit hijauku harus digesek-gesekan ke lantai lorong.

mungkin tinggal sabarku yang membatasi antara pisau besarku dengan leher orang-orang itu. tak hanya sekali atau dua kali mereka menyenggol piring aduk ku. piring aduk itu satu-satunya piring yang ada di gerobakku. fungsi nya adalah tempat aku mengaduk-aduk daging sate yang sudah ku bakar dengan kuah kacang. sering kali, ketika aku sedang memotong-motong lontong piring aduk itu disenggol oleh mereka yang lewat. entah dengan motor atau berjalan kaki. sungguh aku tak mengerti sebesar apa lorong yang mereka kehendaki agar badan mereka tak bersentuhan dengan gerobak kecil ku ini. mungkin jika nanti malam hal itu terjadi, leher mereka sudah ku tebas dengan pisau yang biasanya ku pakai untuk mencincang lontong. sabar ku sudah habis.

mengapa harus aku yang harus bersabar ketika mereka menyenggol gerobak ku? mengapa harus aku yang menahan laju saatm motor motor mereka sangat mudah untuk menahan lajunya? tak perlu lecet tangan dan kaki mereka untuk mengurangi kecepatan kereta kuda mereka. mengapa harus aku yang memahami tabiat mereka sementara mereka tak pernah paham bahwa meskipun 40 porsipun mereka membeli sate yang ku jual tak akan cukup untuk memberikan Nabila, anak ku makan yang cukup sehingga ia cukup gizi dan bisa bersekolah hingga ia tak perlu miskin seperti ku. atau bisa ku belikan Fatir buku-buku cerita bekas supaya tak teringat almarhum ibu nya yang meninggal akibat miskinnya aku?

disatu sisi aku memang menyalahkan mereka, si pengendara motor yang terlalu kencang lajunya dilorong-lorong dimalam hari. tapi disatu sisi hanya kepada merekalah aku berharap. jika bukan mereka-mereka yang masih terjaga pukul 3 subuh itu, siapa lagi yang hendak menyahut teriakan "sate.. sate.. " yang ku teriakan didingin malam?