Monday, April 30, 2012

Kenapa Berkesenian?


banyak orang bertanya, termasuk bapak saya, mengapa masih ada pemuda ranah minang yang terkesan mundur setelah berada di rantau urang seperti sebagian mahasiswa berarah minang di Bandung ini. mengapa justru setelah di sebuah kota besar dimana arus informasi sudah berkembang cepat, kita malah menari-nari dan berdendang. atau pertanyaan disaat seharusnya kita memikirkan hal-hal yang jauh lebih penting dibandingkan randai ataupun kaba Sutan Lembak tuah seperti isu-isu nasional maupun isu-isu global.
saya Paham bahwa memang tak semua orang menyukai berkesenian. memang terlalu dangkal rasanya jika hidup hanya bergantung kepada seni tanpa memperhatikan kearifan hidup lainnya. mengingat berkuliah di ITB tak akan selesai dengan memukul talempong atau gendang, rasanya begitu banyak waktu yang terbuang. disaat mahasiswa lain dikampus ini (dalam anggapan mereka yang tahu) belajar, mahasiswa minang malah mundur progresnya. kami, dianggap mundur dan dianggap tak mampu berkembang di rantau orang.  mengapa? karena sudah jauh-jauh ke Bandung lagunya Batu Tagak jua. sudah jauh-jauh ke negeri orang Tabuik jua yang di bawa.
hemat tiap orang boleh berbeda. pandangan boleh berbeda. tapi izinkan pula saya memaparkan hemat saya terhadapa kegiatan “mangana-ngana kampuang” ini. 

pertama. rancu bagi saya memisahkan kearifan lokal dengan kesenian. saat ini orang banyak yang mengatakan bahwa mahasiswa sudah kehilangan kearifan lokal dalam dirinya. banyak mereka yang sudah tak tahu sopan santun dan etika yang paling dasar. sedikit info, dalam proses berkesenian saya dikampus, banyak kearifan lokal (meski tak semuanya) yang disuapkan kedalam pikiran saya. contoh paling dasar adalah penggunaan kata nan ampek. terlebih “kato malereang”. bahkan bagi segelintir orang yang tak pernah kenal dengan penerapan kato nan ampek itu, sekarang sangat terasa apa yang dimaksud dengan kato nan ampek tersebut. 
dua. berkesenian lokal saat ini berarti melestarikannya. siapa yang tak marah reog di ambil alih malaysia? siapa yang sok-sok an menghujat ketika rasa sayange di klaim malaysia. ketika kami beruapaya mempertahankan Galombang Pasambahan dalam menyambut tamu sebelum ada yang mengklaimnya, kenapa kami dicap tidak berkembang? jika boleh saya memasukan unsur subjektifitas, sebelum saya merantau ke Bandung, saya tak tahu siapa itu Al-Kawi, bagaimana syahdunya dendang dengan alunan Saluang. tak pernah saya resapi tiap kata yang dialunkan si pedendang. tapi kini saya meresapi banyak pelajaran hidup. bahkan Jeffrey Hadler, penulis buku Sengketa Tiada Putus yang membahas dualisme Minangkabau dan Islam banyak mencantumkan dendang-dendang lama sebagai bahan analisisnya. lalu apa yang salah dengan melestarikannya?
tiga, pertanyaan yang banyak muncul adalah, mengapa tak mencoba memadukan unsur kesenian lokal ini dengan budaya lain. atau pembawaanya lebih intelek dan lebih “modern”. misal Master of Ceremony nya lebih berkelas atau dramanya dalam bahasa Indonesia. dalam hemat saya jawabnya cuma ada dua. pertama, target saya dalam berkesenian ini adalah mengobati kerinduan akan kampung halaman. banyak manusia-manusia rantau di Bandung yang telah bertahun-tahun tak pulang kerumahnya. banyak manusia-manusia yang menetes air matanya ketika mendengar ratok yang di dendangkan dalam kesenian kami. intinya saya melihat dengan berkeseniannya kami, muncul rasa bangga bagi orang-orang rantau bahwa kampung mereka masih ada. kampung mereka tak tenggelam digulung zaman. kemarin, setelah bubar pagelaran, ada seorang tua yang berdomisili di Tubagus mengatakan bahwa ia telah lama tak mendengar dendang. beliau merantau tahun 60an akhir. sejak itu sangat jarang beliau mendengarkan dendang. tapi mendengarkan dendang tadi malam, “aia mato ambo manitiak nak, rancak bana nak. tarimo kasih” ungkapnya saat bersalaman setelah acara. lihat bagaimana bangganya mereka atas kampung halaman? alasan kedua ya karena rindu akan rumah kami terbayar dengan “suasana” yang terbangun dalam kesenian kami tadi. celoteh-celoteh khas minangkabau yang biasanya terdengar saat berada disekitar bapak dan ibu seringkali terdengar di saat berkesenian. 
keempat. seorang filsuf mengatakan bahwa tingkatan tertinggi dalam pencapaian hidup itu adalah seni. ketika orang sudah mencapai tingkat pemikiran yang lebih mapan dari sekedar menentukan salah dan benar, baik dan buruk, maka ia akan beranjak ketingkat yang lebih lanjut dimana tidak ada yang salah maupun yang benar. dimana tidak ada yang baik ataupun buruk. yang ada hanya adalah keindahan dan bagaimana cara menikmati keindahan tersebut. dan hal itu adalah seni